Wajibkah Untuk Bermazhab?
Fitrah manusia yang dihinggapi sifat hilaf dan lupa menjadi pembeda diantara manusia itu sendiri, ada yang kuat dalam sifat lupanya atau sebaliknya, dan ada pula yang kuat sifat ingatnya dan cepat kepada lupanya. Hal ini menyebabkan manusia terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu yang pandai (alim) dan yang awam. Dalam pemahaman bermazhab Islam, yang dimaksud dengan pandai adalah mereka yang mempunyai kemapuan dalam menggali hukum dari Al-Qur’an dan hadits yang disebut Mujtahid. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan dalam menggali hukum Al-Qur’an dan hadits disebut Muqallid. Karena itu mereka mengikuti para Mujtahid dan disebut taqlid. Dari penguraian ini dapat dipertanyakan bolehkan bermazhab ?. Bagi seseorang yang awam akan sangat kesulitan jika ia harus menerjemahkan, menggali dan mempelajari secara mendalam hukum dari Al-Qur’an dan hadits, karena untuk dapat menggalinya diperlukan lagi cabang ilmu lain. Tentunya hal ini akan mengakibatkan kerumitan dalam beragama, mereka harus berijtihad terhadap suatu hukum, padahal ilmu yang dimiliki kurang mendukung untuk hal itu. Lebih jauh lagi ditakutkan pemaksaan terhadap suatu hukum tanpa ilmu memadai menghasilkan hukumyang cacat atau fasid. Sehingga ketika mereka bermazhab tujuannya semata-mata untuk mempermudah mereka mengikuti ajaran agama dengan benar dan sesuai syari’at. Perkara seperti ini tentunya akan berbeda bagi mereka yang memiliki kemampuan dalam menggali suatu hukum dari Al-Qur’an dan hadits. Dengan ilmu yang dimiliki tentunya akan memudahkan menggali suatu hukum yang menjadi permasalahan dalam masyarakat, karena syarat-syarat ijtihad telah dipenuhi. Kewajiban terhadap setiap muslim adalah meyakini dan mengamalkan apa yang telah disampaikan Rasulullah dalam al-Qur'an dan Sunnah secara benar. Lalu kaitannya dengan taqlid oleh para ulama diibaratkan seperti kita mengkonsumsi makanan siap saji yang telah dimasak oleh ahlinya. Jadi kita tinggal memakannya tanpa harus memikirkan bagaimana proses pembuatannya. Namun harus menjadi catatan juga ketika bertaqlid jangan sampai menjadi taqlid buta, yaitu sikap taqlid yang membenarkan semua pendapat yang menjadi taqlid kita dan menyalahkan pemahaman yang berbeda dengan kita, tanpa terlebih dahulu ad koreksi yang menyeluruh. Wallahu A’lam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *