Ketika Logika Jadi No 1
Dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupan beragama terkadang tidak semuanya harus dan mesti dipahami dengan akal/logika. Karena ada bagian-bagian persoalan dalam agama yang memang cukup dengan keyakinan dan iman akan adanya. Misal, adanya orang-orang yang sengaja bertanya tentang bagaima bentuk Allah, bagaimana besarnya dan lain sebagainya. Atau pertanyaan tentang ibadah, mengapa shalat maghrib 3 rakaat, mengapa subuh harus dua rakaat padahal bisa sambil olah raga. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul bisa dari orang Islam sendiri yang mendewakan akan kemampuan logikanya, sehingga menolak perkara-perkara yang di luar nalar logika mereka. Hal ini bisa juga karena adanya pergaulan dengan budaya barat yang menjadikan logika sebagai pusat kebenaran. Sehingga tatkala ada satu hal yang kurang dipahami secara logika, maka diri mereka pun menolaknya. Islam mengajarkan bahwa segala sesuatu harus diambil dari pertengahannya, karena dengan jalan tengah ini keseimbangan terjadi. Ketika adanya pengagungan terhadap kemampuan akal yang berlebihan maka kasus-kasus seperti mahasiswa yang pernah mengatakan “Sandalhu Akbar” di salah satu Universitas Islam. Atau kasus yang baru-baru ini menghebohkan di UIN  Sumut, ketika ada mahasiswa yang dengan sengaja menghina Al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw. Menganggap al-Qur’an sebagai buku biasa seperi yang lainnya, sehingga dengan mudahnya diinjak-injak dan melemparnya. Bahkan menghina nabi Muhammad Saw dengan sengaja tidak mengikuti nabi Muhammad Saw dalam segala aspeknya, karena nabi Saw dalam konsepan negara atau politiknya dianggap sudah tidak relevan dengan jaman sekarang. Fenomena-fenomena seperti ini sudah sering sekali terjadi di masyarakat kita. Akibat masih dangkalnya pemahaman tauhid, lalu di masuki dengan pemahaman-pemahaman baru dalam filsafat yang tanpa adanya saringan yang menyeluruh, sehingga menyebabkan pola pikir yang keliru dan ganjil. Sikap kita pun diperlukan dalam memahami kejadian seperti ini, mengeluarkan DO bagi yang melakukan penghinaan tersebut merupakan jalan akhir, tetapi harus ada jalan awal yang dapat membawanya kepada jalan pemahaman Islam yang kafah. Merangkulnya dengan baik-baik, memberikan pemahaman yang menyeluruh dalam Islam dan penguatan akidah Islamiah, menjadi jalan awal untuk membawa kembali kepada jalan Islam yang rahmatan lila’lamiin yang berlaku sepanjang jaman. Wallahu A’lam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *