Karya sastra memang berbeda dengan cipta jembatan, jalan layang, maupun gedung pencakar langit yang kasat mata. Namun, fungsi dan perannya tidak kalah penting daraipada wujud bangunan fisik. Boleh jadi, cipta sastra – tentu termasuk puisi di dalamnya-- mampu memberi dorongan spiritual yang tinggi daripada sekadar cipta bangunan fisik.
Tatkala misalnya, kita sekarang, sedang menghadapi masalah besar tentang penebangan hutan secara liar (illegal loging) sehingga uang negara dalam jumlah triliunan raib karenanya. Tatkala persoalan lingkungan dan pemanasan global (global warming) menjadi topik pembicaraan yang hangat di kalangan pemimpin bangsa-bangsa di dunia. Ternyata, kekhawatiran tersebut telah lebih dulu tertangkap oleh mata batin penyair. Berikut ini misalnya, puisi yang berjudul ”Tusuk Gigi” karya Soni Farid Maulana (1987) yang terhimpun dalam kumpulan puisi ”Panorama Kegelapan” merupakan bentuk keprihatinan dan sekaligus kepedulian penyair atas persoalan penggundulan hutan, masalah lingkungan, sekaligus mendeskripsikan kerakusan sebagian perilaku umat manusia. Nada kesal juga menyelinap hadir tanpa harus vulgar dalam puisi tersebut.
TUSUK GIGI
Ada suara hutan menjerit
Dari sebuah tusuk gigi di hadapanku
Tanah berumput keong lumpur yang mati
Melayangkan kenanganku
Akan berbagai suku yang tumpur digilas industri
Cacing-cacing menyuburkan pohonan
Tapi hutan demi hutan lenyap sudah
Dengus gergaji kiranya
Bikin beragam hewan mengungsi
Ke dalam buku catatan biologi
Atau ke dalam buku cerita kanak-kanak
Yang dibaca sambil tidur
Tidak terlalu sulit untuk membedah makna dan pesan dari puisi diatas. Puisi “Tusuk gigi” ini membedah suatu fenomena yang terjadi. Puisi ini membawa kita terhadap pemikiran yang menimbulkan pertanyaan Apa jadinya hutan kita, dan apa jadinya pula keseimbangan dan keserasian penghuninya apabila hutan penyangga ekosistem kehidupan makhluk penghuninya kehilangan tempat berteduh; tempat penghidupan mereka dirusak secara semena-mena. Kerakusan sebagian umat manusia, jangan terus dibiarkan. Harus dihentikan! Pembabatan hutan secara liar harus diakhiri, jika kita tidak menghendaki hewan-hewan mengungsi ke buku biologi, dan menjadi cerita kanak-kanak menjelang tidur.
Kegetiran penyair atas perusakan (hutan) sangat beralasan. Ketajaman mata batin penyair ternya bergayut secara empiris dengan fakta yang ada sekarang. Fakta dimaksud, seperti yang ditulis Al-Adnani (2008: 19) dalam bukunya yang berjudul
”Global Warming: Sebuah Isyarat Dekatnya Akhir Zaman dan Kehancuran Dunia” sebagai beikut ini. ”Kerusakan hutan akibat illegal logging di Indonesia ini telah menimbulkan kerusakan-kerusakan yang luar biasa. Menurut salah satu sumber, dalam setiap menitnya terjadi penggundulan hutan seluas 12 kali lapangan sepak bola. Wilayah Indonesia yang mempunyai 17.508 pulau, pada mulanya – awal 1970-an – sekitar 57% datarannya adalah hutan tepatnya yaitu 108.573.300 hektar. Akan Tetapi, pada 35 tahun kemudian, menurut data pantauan satelitWorld bank, hutan yang masih dimiliki oleh Indonesia hanya tinggal 57 juta hektar dan hanya 15% di antaranya berada di tanah rendah. Bank Dunia mengingatkan pada 1986, bahwa ketika kerusakan hutan di indonesia tidak dapat dihentikan maka dalam kurun waktu 40 tahun kedepan, Indonesia akan menjadi negeri tandus alias padang pasir. Menurut Bank Dunia, dalam rentang waktu 2005-2010 seluruh hutan alam Sumatra akan punah. Selanjutnya, hutan alam di Kalimantan akan lenyap dalam kurun waktu 2010-2015.”