Adab Membaca Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang akan selalu terjaga kesuciannya dari campur aduk tangan manusia yang ingin mengotori kandungan Al-Qur’an. Bagi mereka yang membacanya, mendengarkan, dan memahami serta mengamalkan isi Al-Qur’an, maka sesungguhnya akan ada pahala baginya. Karena Al-Qur’an, satu-satunya mukjizat yang sampai sekarang masih dapat kita baca dan kita amalkan kandungannya. Dalam suatu hadits Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa membaca satu huruf dari Al-Qur'an maka baginya sepuluh kebaikan. Sedangkan satu kebaikan itu dilipat gandakan hingga sepuluh kali. saya tidak mengatakan alif laam mim itu satu huruf, tetapi alif itu satu huruf, lam itu satu huruf dan mim juga satu huruf," (HR. Tirmidzi). Itu baru satu kata, lalu bagaimana kalau kita membaca satu juz atau lebih setiap malamnya? Insya Allah beribu amal kebaikan akan kita dapatkan darinya. Dan untuk mendapatkan hal tersebut tentunya dimulai dari tatakrama atau adab-adab kita kala membaca kitab suci Al-Qur’an. Diantara yang menjadi adab-adab tatkala kita membaca Al-qur’an yaitu :
  1. Membaca suci dari hadats, menghadap kiblat dan duduk. Karena Allah adalah firman Allah maka seyogyanya kita memperlakukannya seperti Al-Qur’an, karena Al-Qur’an bukanlah buku biasa yang dengan seenaknya boleh di baca dimana saja dan kapan saja. Alangkah baiknya kita membacanya dalam keadaan suci dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar. Dilanjutkan dengan mengambilnya dengan tangan kanan sebagai lambang kebaikan dan membacanya sambil duduk menghadap kiblat.
  2. Membaca dengan tartil (perlahan-lahan/sesuai aturan membaca), ketika seseorang membaca Al-qur’an dengan terburu-buru karena adanya target bacaan yang ditentukannya sendiri, sehingga hukum tajwid dan makharijul huruf dari Al-Qur’an sendiri jadi terlewat atau tidak diperhatikan. Akibatnya bacaannya pun menjadi jauh dari khusyu dan menghayati apa yang dibaca. Ketika hal tersebut terjadi maka membaca Al-Qur’an seolah-olah seperti membaca buku biasa yang masuk telinga kiri dan keluar dari telinga kanan. Intisari dan ajaran yang terkandung dalam Al-qur’annya pun menjadi jauh dari harapan untuk diamalkan. Lebih jauh lagi membaca Al-Qur’an tanpa tartil dapat merubah makna sesungguhnya dari maksud Al-qur’an tersebut dan tentu saja jika ini terjadi maka bukannya pahala bacaan yang didapat tetapi menjadi dosa karena dengan sengaja melakukannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *