Ronggeng Gunung
Kesenian tradisiona jawa barat memang sangat menarik untuk dipelajari, namun tidak sedikit orang yang tidak perduli dan terkesan acuh taacuh. Padahal seni tradisional ini perlu dilestarikan dan dikembangkan sehingga menjadi kebanggaan tersendiri. Salah satu tari tradisional yang hapir terlupakan adalah Ronggeng Gunung. Sekelompok ronggeng gunung biasanya terdiri dari enam sampai sepuluh orang sekaligus. Namun, dapat pula terjadi tukar menukar atau peminjaman pemain dari kelompok lain. Biasanya peminjaman para pemain terjadi untuk memperoleh pesinden lalugu, yaitu seorang perempuan yang sudah berumur agak lanjut, tetapi memiliki kemampuan yang sangat mengagumkan dari segi tarik suara. Tugasnya membawakan lagu-lagu tertentu yang tidak dapat dibawakan oleh pesinden biasa. Sedangkan, untuk peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari ronggeng  gunung adalah tiga buah ketuk, gong, dan juga kendang. ronggeng gunung                       ronggeng gunungg Pada zaman dahulu untuk menjadi seorang ronggeng tidaklah mudah, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi antara lain harus memiliki bentuk badan yang bagus, dapat melakukan puasa selama 40 hari dimana setiap berbuka puasa hanya diperkenankan makan pisang raja sebanyak dua buah. Latihan nafas untuk memperbaiki vocal suara, fisiknya, dan juga kerohanian yang dibimbing oleh ahlinya. Selain itu, seorang ronggeng juga tidak boleh terikat pada perkawinan. Oleh karena itu, seorang ronggeng harus seorang gadis atau janda. Tari ronggeng gunung biasa digelar di halaman rumah pada saat ada acara perkawinan, khitanan, atau bahkan di huma, misalnya ketika dibutuhkan untuk upacara membajak atau menanam padi atau ladang. Durasi sebuah pementasan tari ronggeng gunung biasanya cukup lama, kadang-kadang baru selesai menjelang subuh. Perkembangan ronggeng gunung pada periode tahun 1904- 1945, terjadi banyak pergeseran nilai dalam bentuk penyajiannya. Misalnya cara menghormat yang semula dengan merapatkan tangan di dada diganti dengan cara bersalam. Bahkan, akhirnya cara bersalaman ini banyak disalahgunakan, seperti penari laki-laki atau orang yang tertentu bukan hanya bersalaman melainkan bertindak lebih jauh lagi seperti mencium, meraba, dan lain sebagainya. Bahkan, kadang penari dapat dibawa ke tempat sepi. Karena tidak sesuai dengan adat istiadat , maka pada tahun 1948 kesenian ronggeng gunung dilarang dipertunjukan untuk umum. Baru pada tahun 1950 kesenian ronggeng gunung dihidupkan kembali dengan beberapa segi pembaruan, baik itu dalam tarian maupun dalam pengorganisasiannya sehingga kemungkinan timbulnya halhal negatif dapat dihindari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *