Mungkin dalam memori kita masih segar tentang demontrasi guru yang belum pernah terjadi sekalipun. Sehingga terdengar sangat aneh dan banyak kalangan mempertanyakan mengapa guru berdemo. Tudingan itu bukan hanya datang dari dalam negeri, tapi dari luar negeripun ikut menuding. Salah satunya melalui siaran radio BBC, radio Nederland dan radio Australia.
Hal ini tergantung dari pandangan mana anda melihatnya, ada yang mendukung, ada yang menyayangkan, ada pula yang menganggap perbuatan arogansi politik. Semuanya tergantung bagaimana anda mencernanya karena itu adalah hak dan kebebasan anda dalam berpendapat.
Demontrasi guru yang berani turun ke jalanan mengaaikan teriknya sinar matahari, mengabaikan lebatnya hujan, meninggalkan anak didiknya, dan berani berteriak tanpa merasa malu dihadapan publik. Dan uniknya segala keperluan untuk berdemo berasal dari koceknya sendiri. Mereka memperjuangkan nasibnyayang selama ini kurang perhatian dari pemerintah.
Para guru yang berdemo sebenarnya mereka sadar, bahwa demontrasi itu tidak pantas untuk dipertontonkan, karena kontradiktif dengan profesi mereka. Sebagai pendidik seharusnya menjadi contoh bagi anak didik dan masyarakat pada umumnya. Akan tetapi sudah cukup lama harga diri mereka diperlakukan dengan tidak adil. Sebagai manusia biasa yang mempunyai batas kesabaran. Akhirnya mereka bangkit dan bereaksi untuk memperjuangkan nasibnya, meskipun tidak etis untuk dipandang.
Adalah sebuah fakta empirik, kini banyak guru yang mengajar sampai sore sehingga tidak lagi memperhatikan kualitas pembelajaran karena mengejar target kurikulum. Dan bahkan ada banyak guru yang mencari penghasilan tambahan di luar jam mengajar dengan ngojek dan pekerjaan lainnya, yang penting halal.
Sebuah sebutan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” sangat melekat pada pribadi seorang guru. Tanpa tanda jasa bukan berarti guru tanpa diperhatikan terutama dalam kesejahteraan para guru. Di negara lain gaji guru adalah gaji yang paling besar diantara pegawai negeri lainnya sehingga guru terjamin kesejahteraanya dan kualitas pembelajaran pun meningkat. Akan tetapi di negara kita pemerintah hanya sibuk memikirkan kurikulum untuk meningkatkan mutu pendidikan. Akan tetapi kesejahteraan gurunya diabaikan.
Dengan anggaran pendidikan 20%, maka tak layak bagi seorang guru honorer dibayar 150.000 rupiah. Apalagi sekarang harga kebutuhan pokok meningkat karena imbas dari kenaikan Bahan bakar minyak yang dilakukan pemerintah. Coba bayangkan, seorang buruh kebun saja setiap hari dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang dibayar 25.000 rupiah, dan kalau dikalikan sebulan maka menjadi 750.000 rupiah. Ini berbeda jauh dengan seorang guru honorer yang kerjanya sama bahkan lebih baik dari PNS dibayar 150.000 rupiah perbulan. Maka tak heran jika para guru berani berdemo untuk menuntut keadilan dan kebijaksanaan dari pemerintah.
Seharusnya kita banyak belajar dari negara-negara tetangga tentang cara menghormati seorang guru. Karena berkat jasa guru lah pembangunan terlaksana, kualitas SDM meningkat. Dan berkat gurulah Indonesia Merdeka.