Dearah Istimewa Yogyakarta ada sebuah provinsi yang masih sangat kental dengan kebudayaan yang ada. Tradisi, adat istiadat, dan kesenian masih dipertahankan demi menghormati para leluhur yang telah menciptakannya. Jika di dunia ada Negara Inggris yang memiliki sistem kerajaan yang sangat terkenal dengan pemimpinnya Ratu Elisabeth, di Indonesia juga ada sistem pemerintahan yang berbau kerajaan yakni kerajaan di Yogyakarta dengan rajaya Sri Sultan. Banyak sekali keunikan yang dimiliki Yogyakarta ini, salah satunya adalah pada saat acara pernikahan anggota keluarga kesultanan yang biasanyan digelar hajatan selama 7 hari 7 malam dengan adat dan budaya yang sangat kental. Selain itu ada juga kesenian daerah dari Yogyakarta ini yakni Tari Langen Mandra Wanara.
Langen mandra wanara adalah salah satu bentuk drama tari Jawa yang memepergunakan materi tari tradisi klasik gaya Yogyakarta. Drama tari yang menggambarkan benayak wanara atau kera dan berfungsi sebagai hiburan ini merupakan perkembangan dari drama tari yang telah ada yaitu Langendriya yang bersumber dari Serat Damarwulan. Baik Langendriya maupun dengan langen mandra wanara, menyajikan bentuk tari dengan posisi jengkeng atau jongkok, dan disertai pula dengan dialog berupa tembang macapat. Bedanya, adalah lakon yang dibawakan. Jika suatu lakon yang dibawakan di dalam tari drama langendiya bersumber dari cerita yang lain, maka langen mandra wanara bersumber dari cerita Ramayana, seperti Subali lena, Sengganan Duta, Rahwana Gugur, dan lain sebagainya.
Konon, drama tari langen mandra wanara ini sejak dulu telah ada, bahkan drama ini mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Pada masa itu setiap malam hari di istana selalu ada kegiatan gladen tari atau pun karawitan, kecuali bulan Ramadhan karena bulan tersebut dianggap sebagai bulan suci sehingga untuk sementara ditiadakan atau dihentikan. Sebagai penggantinya adalah pembacaan serat babad dalam tembang macapat yang isinya mengisahkan tentang tokoh-tokoh babad dengan jasa dan suru teladannya.
Mengingat bahwa setiap bulan Ramadhan yang membaca serat babad itu hanya satu orang, maka KRT Purwodiningrat mempunyai gagasan agar pembacaan serat babad dilakukan oleh beberapa orang. Jadi, setiap masing-masing orang berperan sebagai tokoh dalam cerita yang ada di dalam babad. Gagasan ini diterima dengan baik dengan alasan akan menghidupkan cerita dan karakteristik yang ada.
Sekitar abad ke 20 drama tari ini kurang diminati karena dinilai terlalu sulit untuk dimainkani. Tapi, atas anjuran Prof. Dr. Priyono, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu, langen Mandra wanara digiatkan dan ditata kembali oleh C. Hardjasubrata dan dialkukan perubahan dalam beberapa grak tari dan pemainnya.