Suatu ketika, Yani diajak oleh ayahnya untuk mengunjungi wilayah pemakaman umum kaum muslimin di kota metropolitan, Jakarta. Mereka berputar sejenak dan kemudian mendapatkan makam yang dicari. Mereka duduk di depan seonggok nisan, “Hj. Muthia binti Muhammad, Lahir : 19 Januari 1915, Meninggal : 20 Januari 1965.” Ayah Yani berkata, “Nak, ini adalah kuburan nenekmu, mari kita berdoa untuk kebaikan nenekmu.” Yani melihat wajah ayahnya, lalu menirukan tangan ayahnya menengadah ke atas dan memejamkan matanya seperti halnya ayahnya. Ia mendengarkan doa ayahnya untuk neneknya. Selesai berdoa, Yani bertanya, “Yah, nenek waktu meninggal berumur 50 tahun ya Yah ?” Ayahnya mengangguk sambil tersenyum sembari memandang pusara ibunya, Hj. Muthia. “Hm, berarti nenek sudah meninggal 44 tahun yang lalu ya, Yah ?” kata Yani berlagak dengan menghitung dengan jarinya, “Ya, nenekmu sudah di dalam kubur selama 44 tahun…”jawab ayahnya Yani memutar otaknya, memandang sekeliling, banyak kuburan di sana, di samping kuburan neneknya ada kuburan tua berlumut, “Muhammad Zaini, Lahir : 19 Februari 1804, Meninggal : 30 Januari 1910.” “Hmm, kalau begitu, yang itu sudah meninggal 109 tahun yang lalu ya Yah ?” jarinya menunjuk nisan di di samping kuburan neneknya. Sekali lagi ayahnya mengangguk, tangannya terangkat mengelus kepala anaknya satu-satunya sembari menatap teduh mata anaknya dan berkata, “Memangnya kenapa nak ?” “Hmm, ayah semalam bilang bahwa kalau kita mati, lalu dikubur dan kita banyak dosanya, kita akan disiksa. Dan ditempatkan pada parit dari parit-parit neraka. Begitu sebaliknya, kalau amal shalih kita banyak, kita akan mendapatkan kenikmatan dan tinggal di sebuah taman dari taman-taman jannah. Iya kan Yah ?” Yani meminta persetujuan ayahnya. Ayahnya tersenyum dan bertanya, “Lalu ?” “Ya…kalau nenek banyak dosanya, berarti nenek sudah disiksa selama 44 tahun dong yah di kubur ? tetapi kalo nenek banyak amal shalihnya berarti sudah 44 tahun pula berada di taman dari taman-taman jannah….ya nggak Yah ?” mata Yani berbinar karena bisa mengemukakan pendapatnya kepada ayahnya. Ayahnya tersenyum, namun sekilas keningnya Nampak berkerut, tampaknya cemas, “Iya nak, kamu memang pintar.” Kata ayahnya pendek. Pulang dari pemakaman, ayah Yani tampak gelisah. Setelah pulang, di atas sajadahnya, ayahnya merenungi perkataan anaknya. Lalu ia menunduk dan meneteskan air mata, kalau ia yang meninggal, lalu banyak dosanya, lalu kiamat masih 100 tahun lagi, masih 200 tahun lagi atau mungkin masih 300 tahun lagi ? sanggupkah ia selama itu menanggung derita di dalam kubur. Bukankah setelah bangkit dari kubur, siksa yang lebih dahsyat sudah menanti. Ayah yani trtunduk dan berdoa berulang-ulang, “Allahumma inni as’alukal ‘Afiyah fid dunya wal akhiroh.” Ya Allah, aku memohon kepada-Mu keselamatan dan kebaikan, di dunia dan akherat.