Istilah suap dalam bahasa Arab disebut dengan ar-risywah yang artinya pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan suatu haq atau untuk membenarkan sesuatu yang batil. Hukum suap dalam Islam adalah haram baik yang memberi, menerima, menjadi saksi, bahkan sampai kepada yang menuliskannya. Dalam menghadapi persaingan kerja yang begitu tinggi, ditambah dengan daya saing yang berkualitas dari berbagai pelosok, tentunya membuat sulit dalam mencari pekerjaan. Suap-menyuap dalam kehidupan bernegara di masyarakat kita seolah-olah menjadi hal yang biasa, di persidangan, kantor agama bahkan pabrik-pabrik untuk mencari pekerjaan pun harus dimulai dulu dengan suap.
Firman Allah Swt “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Menyadari akan haramnya suap, tentu menjadikan kita waspada, walaupun terkadang disatu sisi kita dihadapkan pilihan yang sulit tatkala ada sebagian oknum dari para pejabat atau pemimpin perusahaan yang dengan sengaja memberi syarat dengan memberi sejumlah uang tertentu jika ingin bekerja. Pada keadaan semacam ini kita dihadapkan pada dua pilihan yaitu: menuruti apa yang menjadi keinginan dari pejabat tersebut atau merelakan hak dan kesempatan kita dalam bekerja. Ibarat makan buah simalakama, apa yang kita lakukan keduanya mengandung dosa dan kesalahan. Namun jika dipertimbangkan maka pilihan yang pertama lebih ringan dalam akibatnya, karena walaupun ada hak kita yang diambil dengan suap ada hal lain yang diselamatkan.
Menurut seorang ulama Imam Mawardi, “Terkait hukum memberikan suap, bila motivasinya melakukan hal tersebut demi menyelamatkan haknya atau menghindari perilaku semena-mena, maka tidak haram. Karena masalah ini serupa seperti menebus tawanan perang dengan sebagian harta. Walaupun hal seperti ini dilakukan tetap saja bagi yang menerima suap tersebut (pejabat dll) ia tetap berdosa dan uang yang diterimanya dihukumi sebagai uang haram. Karena keterangan ulama Imam Mawardi hanya berlaku bagi korban suap bukannya pihak yang disuap. Sehingga dapat disimpulkan bagi mereka yang memberi suap dengan tidak ada niat sedikit pun untuk memberi, ia hanya memberi karena terpaksa, maka hukum yang memberinya adalah halal.