Tidak komplit rasa-rasanya apabila kita bertandang atau wisata ke satu tempat bila pulang tanpa ada membawa cenderamata sebagai bukti atau kenang-kenangan kalau kita pernah berkunjung ke tempat yang disebut.
Demikian halnya bila bertandang ke Kota Bengkulu, cenderamata di kota ini sesungguhnya sama juga dengan cenderamata daerah wisata biasanya, dapat itu berbentuk kalung, tas, jam, topi serta lain sebagainya.
Tetapi ada yang unik berbahan basic membuatnya. Apakah itu? Namanya kulit lantung. Nyatanya, kulit lantung yang umum jadikan beberapa perajin Bengkulu untuk bikin cenderamata mempunyai narasi kelam yang panjang dalam menemani kemerdekaan Republik Indonesia.
Tidak salah apabila peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang, Kementerian Pendidikan serta Kebudayaan, Undri, SS, M. Si serta Nurmatias dalam satu penelitiannya menyebutkan kalau " Kain Lantung : Kain Terjajah ".
Dalam satu riset yang di sampaikan Undri serta Nurmatias berbentuk makalah pada Desiminasi Pencatatan Warisan Budaya Tidak Benda di Kota Bengkulu, Rabu (23/10/2013), dengan cara gamblang menyampaikan kalau kulit lantung di kenal orang-orang Bengkulu mulai sejak saat penjajahan Jepang tepatnya pada 1943 atau setahun Jepang menanamkan kekuasaannya di Indonesia.
" Aspek kerasnya hidup, kerasnya desakan penjajah jadikan kondisi perekonomian jadi berat hingga menyusahkan orang-orang dalam mencari atau beli baju atau katun dari drill. Oleh karenanya muncul pemikiran bagaimana memperoleh pengganti kain untuk pelindung badan, jadi nampak inspirasi pembuatan kain lantung sebagai alternatif dengan rimba yang mempunyai berbagai type pohon pada saat itu jadi bahan pokoknya, " kata Undri.
Berarti, kulit lantung yang jadikan baju pada saat penjajahan itu adalah sisi dari perjalanan kelam histori bangsa lantaran benda ini keberadaannya lahir dari hasil budaya orang-orang Bengkulu pada kondisi serta keadaan saat perjuangan mengusir penjajah Jepang.
Orang-orang Bengkulu dalam bikin kain lantung memakai type pohon dengan kulit bergetah lantaran kulit kayu yang bergetah dinilai tak gampang rusak. Biasanya kulit kayu yang dipakai untuk membuahkan lantung itu yaitu pohon karet rimba, pohon ibuh serta terap. jayuwan.com
Pembuatan lantung diawali dari memotong pohon karet rimba, ibuh serta terap untuk di ambil kulitnya sesuai sama ukuran yang dikehendaki setelah itu kulit kayu itu dipukul-pukul dengan alat pemukul kayu yang di buat sedemikian rupa.
Ketika dipukul-pukul kulit kayu yang sudah terpisah dari kayu sembari dilipat sampai jadi lembaran tidak tebal. Lembaran tidak tebal berikut yang diberi nama lantung. Makin tua umur pohon kayu yang di ambil lantungnya jadi bakal makin bagus kwalitas lantung. Lantung yang berkwalitas baik umumnya berwarna cokelat, ini umumnya didapat dari pohon kayu karet rimba.
Pemakaian kain lantung umumnya sesuai dengan hasrat sipemakai berarti kain lantung itu bisa dibuat jadi celana atau cuma kain saja. Sebagai penyatu atau penyambung kain umumnya dipakai benang atau getah karet tersebut.
Bersamaan dengan saat, Indonesia merdeka, bertahap perekonomian rakyat lebih baik, pemakaian kain lantung perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Sebagai ubah kulit lantung itu berpindah manfaat jadi kerajinan tangan orang-orang Bengkulu yang bisa menghadirkan omzet jutaan rupiah.
Dalam riset itu dijelaskan yaitu Bustami seseorang perajin asal Muaralabuh, Sumatera Barat, yang merantau ke Kota Bengkulu pada 1997. Ia membangun usaha kerajinan kulit lantung. Dari inspirasi kreatif dikombinasi dengan jiwa usaha jadi jadilah kulit lantung sebagai bahan basic untuk pernak-pernik cenderamata andalan orang-orang Kota Bengkulu.
Dari inspirasi Bustami, sampai saat ini kerajinan kulit lantung makin banyak tumbuh menjamur di Kota Bengkulu, terlebih dengan diputuskannya sentra cenderamata di Jalan Soekarno-Hatta oleh Pemerintah Kota Bengkulu satu tahun lebih lantas.
Harga yang di jual bermacam bergantung type, ukuran cenderamata yang di buat dari harga paling rendah Rp 1. 000 untuk gantungan kunci sampai beberapa ratus ribu rupiah untuk barang jadi seperti tas wanita, dompet, jam dinding serta lain sebagainya.
Deklarasi pemerintah daerah, mengusulkan kulit lantung, festival tabut, dan naskah kuno ka gak nga jadi warisan dunia yang diserahkan ke UNESCO pada Rabu (23/10/2013) adalah langkah cerdas serta membanggakan Propinsi Bengkulu.
" Bengkulu mempunyai warisan budaya yang cukup banyak serta membanggakan jadi telah lumrah bila pemerintah ajukan untuk jadikan warisan dunia serta itu tak terlalu berlebih, " ungkap Soni Budiman, salah seseorang warga Bengkulu.