Berbeda dengan golongan makhluk lain, yaitu golongan Malaikat dengan hewan, maka manusia memiliki kedudukan yang istimewa dalam kehidupan dunia. Sebagai mana di jelaskan dalam firman ALLAH yang artinya, “sungguh telah kami ciftakan manusia itu dengan sebaik-baiknya.”(At Tin :4-5). Hal ini dijelaskan lagi dalam ayat lain bahwa anak cucu adam itu di mulyakan oleh Allah Swt. Itu disebabkan karena manusia dikaruniai akal, yang dapat mebedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Akal adalah syarat untuk melaksanakan tanggung jawab yang terpikul diatas pundak manusia, yakni manat beragama dan berbakti kepada Allah. Tetapi disamping itu terdapat pula unsur yang sangat berbahaya, yang dapt menjerumuskan kedalam jurang kehinaan, yang akan menyamakan derajatnya dengan hewan, terkadang lebih rendah dan lebih hina. Unsur itu tidak lain dari dhawa nafsu, yakni sistem kebutuhan yang meminta pemuasan, akibat adanya garizah atau naluri yang ditanamkan Allah dalam jiwanya. Bagi hawa nafsu ini yang diperlukan hanyalah kepuasan duniawi, yang menurtnya tidak pernah cukup walupun kebutuhannya sudah lebih dari cukup, dalam tindakannya dorongan hawa nafsu sangat agresif.
Dengan dorongan hawa nafsu manusia bisa saja melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, bahkan dapat merugikan orang lain untuk kepuasan dirinya sendiri. Manusia merupakan arena tempat bertarungnya kedua prinsif ini, yakni perinsif akal dan hawa nafsu. Maka disinilah letak pentingnya agama diwahyukan Allah kepada manusia, karena jika hawa nafsu selalu di tunggangi oleh setan laknatuloh maka agama menjadi cahaya atau nur ilahi yang senang tiasa membimbing mereka kejalan keselamatan dan kebahagiaan.
Cara untuk mengendalikan hawa nafsu, teranglah sudah bagaimana penting dikuasainya nafsu ini demi tercapainya keutamaan dan akhlak yang luhur. Menguasai disini bukan berarti mencabutnya atau mengekang eratnya, melainkan harus melawan hawa nafsu sesuai dengan Firman Allah yang artinya “janganlah kamu mengikuti kemauan nafsu yang akan menyesatkan kamu dari jalan Allah, sungguh orang-orang yang menyeleweng dari dari jalan Allah itu, bagi mereka tersedia siksa yang dahsat disebabkan mereka melupakan hari perhitungan”. (Shaad : 26).
Akal adalah syarat untuk melaksanakan tanggung jawab yang terpikul diatas pundak manusia, yakni manat beragama dan berbakti kepada Allah. Tetapi disamping itu terdapat pula unsur yang sangat berbahaya, yang dapt menjerumuskan kedalam jurang kehinaan, yang akan menyamakan derajatnya dengan hewan, terkadang lebih rendah dan lebih hina. Unsur itu tidak lain dari dhawa nafsu, yakni sistem kebutuhan yang meminta pemuasan, akibat adanya garizah atau naluri yang ditanamkan Allah dalam jiwanya. Bagi hawa nafsu ini yang diperlukan hanyalah kepuasan duniawi, yang menurtnya tidak pernah cukup walupun kebutuhannya sudah lebih dari cukup, dalam tindakannya dorongan hawa nafsu sangat agresif.
Dengan dorongan hawa nafsu manusia bisa saja melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, bahkan dapat merugikan orang lain untuk kepuasan dirinya sendiri. Manusia merupakan arena tempat bertarungnya kedua prinsif ini, yakni perinsif akal dan hawa nafsu. Maka disinilah letak pentingnya agama diwahyukan Allah kepada manusia, karena jika hawa nafsu selalu di tunggangi oleh setan laknatuloh maka agama menjadi cahaya atau nur ilahi yang senang tiasa membimbing mereka kejalan keselamatan dan kebahagiaan.
Cara untuk mengendalikan hawa nafsu, teranglah sudah bagaimana penting dikuasainya nafsu ini demi tercapainya keutamaan dan akhlak yang luhur. Menguasai disini bukan berarti mencabutnya atau mengekang eratnya, melainkan harus melawan hawa nafsu sesuai dengan Firman Allah yang artinya “janganlah kamu mengikuti kemauan nafsu yang akan menyesatkan kamu dari jalan Allah, sungguh orang-orang yang menyeleweng dari dari jalan Allah itu, bagi mereka tersedia siksa yang dahsat disebabkan mereka melupakan hari perhitungan”. (Shaad : 26).