Saat kita mau menghadap raja atau presiden, umumnya kita akan mengikuti aturan protokoler yang telah ditetapkan oleh mereka. Anda tidak akan melakukan protes mengapa misalnya harus bersikap begini begitu,
Demikian pula dengan ritual 'menghadap' Tuhan. Tata-cara penyembahan kepada Tuhan logikanya tidak bisa diserahkan kepada si penyembah yang berkreasi sesuai dengan maunya mereka, lalu Tuhan disuruh untuk mengikutinya. Kita coba bertanya dari 'titik nol' :"Kalau Tuhan itu ada dan merupakan sesuatu yang disembah, apakah tidak masuk akal kalau aturan dan tata-cara penyembahan akan ditetapkan-Nya sendiri..??". Semua orang, tidak peduli atheis sekalipun, akan menerima pikiran logis ini. Karena apabila aturan penyembahan diserahkan kepada pihak yang menyembah lalu Tuhan terpaksa mengikuti aturan tersebut, maka otomatis Tuhan tidak lagi menjadi Tuhan. Sama halnya seorang raja yang terpaksa harus mengikuti tata-cara dan protokoler yang ditetapkan atas maunya pihak yang menghadap, maka raja tersebut tidak bisa lagi disebut sebagai raja.
Ketika Tuhan menetapkan tata-cara penyembahan yang harus dilakukan oleh manusia, apakah pantas kalau Tuhan tersebut menjelma menjadi manusia agar bisa memberikan contoh langsung bagaimana cara melakukannya..?? Tentu saja tidak..., maka Tuhan bisa mengutus seseorang diantara manusia, memilihnya sebagai manusia tauladan untuk memberikan contoh bagaimana ritual penyembahan tersebut dilakukan.
Islam mengenal ritual penyembahan kepada Allah yang disebut shalat. Dari perspektif Islam sendiri, shalat merupakan perintah langsung yang datang dari Allah, diberikan kepada utusan-Nya, Rasulullah Muhammad SAW, lalu Nabi melaksanakan ritual tersebut ditengah-tengah manusia dan berkata :"Lakukanlah shalat sebagaimana aku melakukannya..". Maka hal tersebut menjadi sesuatu yang logis.
Lalu ada pertanyaan :"Mengapa umat Islam harus diperlakukan seperti robot oleh Tuhannya..?? mengerjakan sesuatu yang mungkin dikerjakan dengan terpaksa..??". Tentu saja ada sebagian Muslim yang mengerjakan shalat dengan terpaksa karena menganggapnya sebagai suatu kewajiban untuk menyembah dan ketika tidak dilaksanakan maka akan memiliki konsekuensi yang tidak menyenangkan. Namun anda juga bisa memperhatikan hal ini terhadap sebagian Muslim yang lain. Kalaulah aturan shalat ini dianggap suatu kewajiban yang memaksa maka logikanya umat Islam akan mengerjakannya 'dalam batas minimal', hanya mengerjakan apa yang diwajibkan. Lihatlah apa yang terjadi di masjid diwaktu shubuh, ketika orang-orang tua yang sudah sepuh tertatih-tatih datang ke masjid dipagi buta, ketika sampai di masjid mereka melakukan shalat sunnah tahyatul masjid 2 rakaat, lalu disambung lagi dengan shalat sunnah qabla shubuh 2 rakaat, setelah itu baru berjamaah melakukan kewajiban shalat shubuh. Atau juga betapa banyaknya kaum Muslim yang bangun ditengah malam melawan kantuk untuk berdiri mengerjakan shalat tahajud dan witir minimal 3 rakaat, atau juga shalat dhuha diwaktu pagi dengan jumlah 2 sampai 8 rakaat, padahal semua shalat-shalat tersebut tidak diwajibkan. Seandainya shalat dianggap sebagai suatu kewajiba yang memaksa, maka tidak mungkin mereka akan melakukan shalat yang tidak diwajibkan tersebut. Ini menunjukkan bahwa penyembahan Allah tersebut sudah menjadi suatu kebutuhan, bukan lagi kewajiban.