Secara jelas Al-Qur’an menginformasikan bahwa Tuhan memperkenalkan diri-Nya dengan nama ‘Allah’ yang tiada ‘ilah’ selain diri-Nya. Informasi ini menunjukkan bahwa nama tersebut merupakan nama dari Tuhan, bukan suatu istilah atau nama jabatan, dan nama tersebut disampaikan melalui lafadz/bunyi suara.
Para ahli bahasa Arab berbeda pendapat tentang asal-mula nama 'Allah' ini, seperti yang disampaikan oleh ustadz Quraish Shihab dalam bukunya 'Membumikan Al-Qur'an'
"Para ulama dan pakar bahasa mendiskusikan kata tersebut antara lain apakah ia memiliki akar kata atau tidak. Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’ tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tapi ia adalah nama yang menunjuk kepada zat yang wajib wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan, serta hanya kepada-Nya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan bermohon. Tetapi banyak ulama berpendapat, bahwa kata ‘Allah’ asalnya adalah ‘Ilaah’, yang dibubuhi huruf ‘Alif’ dan ‘Laam’ dan dengan demikian, ‘Allah’ merupakan nama khusus, karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya. Sedangkan ‘Ilaah’ adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural), yaitu ‘Alihah".
Pertanyaan muncul, tata-bahasa dan pembentukan kosakata melalui unsur-unsurnya merupakan ilmu yang dikembangkan oleh manusia. Lafadz/bunyi selalu mendahului keberadaan tata-bahasa. Jadi ketika manusia diciptakan, mereka belum mengenal soal kaedah tata-bahasa, pembentukan kosakata, hukum-hukum bahasa, dll. Manusia hanya mengeluarkan bunyi/lafazd dari mulutnya, setelah itu mereka baru mencari kaedah-kaedahnya sehingga terciptalah aturan tata-bahasa. Kalau dikatakan nama 'Allah' merupakan bentukan dari kaedah bahasa, maka sama saja kita mau mengatakan nama tersebut diciptakan oleh manusia, aturan tata-bahasa sudah dirumuskan, lalu berdasarkan itu manusia menciptakan nama 'Allah'.
Lalu mengapa kita tidak berpikir sebaliknya..?? Sebelum manusia mengenal tata-bahasa, nama 'Allah' sudah diperkenalkan dan sudah dilafadzkan/dibunyikan oleh mulut manusia. Artinya Tuhan sendiri yang memperkenalkan nama-Nya berupa bunyi/lafadz, manusia lalu meniru bunyi tersebut. Ketika manusia mulai merumuskan kaedah tata-bahasa maka nama 'Allah' tersebut diadopsi menjadi suatu istilah yang bisa diuraikan unsur-unsur dan akar katanya. Biasa dalam suatu gejala bahasa, nama generik diadopsi menjadi suatu istilah, misalnya nama Pak Mujair, seorang peternak ikan yang menemukan dan mengembangkan sejenis ikan air-tawar lalu dipakai untuk menjadi nama jenis ikan tersebut, atau istilah sandwich untuk 2 potong roti yang mengapit sekerat daging berasal dari nama Earl of Sandwich yang hidup ditahun 1700-an, seorang yang hobby berjudi dan sering lupa makan, lalu membekali dirinya dengan model makanan tersebut agar bisa makan tanpa harus meninggalkan meja judi, atau kata 'boikot' berasal dari nama seorang agen tanah di Irlandia, kapten Charles Cunningham Boycott yang dikucilkan oleh para petani karena kekerasan yang dilakukannya terhadap suatu sengketa tanah.
Jadi lebih masuk akal kalau nama 'Allah' yang sudah dikenal oleh manusia sebelum adanya kaedah tata-bahasa tersebut diadopsi menjadi suatu istilah. Orang Arab mengenal istilah 'ilaah' 'al-ilah' sebagai sebutan untuk jabatan tuhan, sesuatu yang mendominasi dan menguasai. Istilah tersebut berasal dari nama generik Tuhan yaitu 'Allah', bukan sebaliknya, nama generik tersebut berasal dari pembentukan kata yang ada dalam kaedah tata-bahasa.